Anak-anak Kampung Pujokusuman lestarikan Jemparingan

Masyarakat Yogyakarta memiliki olahraga panahan unik yang berbeda dengan olahraga panahan pada umumnya. Dikenal dengan Jemparingan Gaya Mataram Yogyakarta, olahraga panahan ini dilakukan dalam posisi duduk.

Jemparingan ini penuh makna filosofi. Kegiatan memanah dalam posisi duduk bersila berasal tradisi masyarakat jawa khususnya di lingkungan Keraton Yogyakarta karena bentuk bangunan rata-rata cukup rendah. Memanah dalam posisi duduk juga membuat perasaan pemanah menjadi lebih tenang. Posisi busur akan berada pada posisi terlentang di hadapan perut menjadikan bidikan berdasar para perasaan.
“Pamenthanging gandewa pamenthenging cipta” berarti pemanah menggunakan hatinya untuk mengincar sasaran (tujuan). Tidak lagi menggunakan bidikan mata namun berdasarkan perasaan.
Sri Sultan Hamengku Buwono I melalui Jemparingan Gaya Mataram Yogyakarta, memberikan pemahaman bahwa mengincar dengan hati merupakan hal yang utama.

Jemparingan Gaya Mataram Yogyakarta sudah ada sejak jaman Kerajaan Mataram Islam. Pada masa itu, panahan ini digunakan sebagai sarana pertahanan misalnya dalam peperangan. Namun sejak Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan HB I membawa panahan ini ke dalam Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, tujuannya bukan lagi untuk melatih diri dalam pertempuran tetapi untuk membentuk watak ksatria.

Di Kampung Pujokusuman, Kelurahan Keparakan, Kemantren Mergangsan, Jemparingan merupakan ikon budaya yang menjadi kebanggaan warga masyarakatnya. Di kampung ini pun terdapat beberapa pengrajin Gandewa. Tak hanya berproduksi, masyarakatnya baik dewasa maupun anak-anak pun secara rutin berlatih secara mandiri dan swadaya setiap hari Senin, Rabu dan Jumat pukul 16.00 di gedung SD Negeri Pujokusuman. Komunitas jemparingan yang diberi nama "Hantu Maut" ini di setiap Sabtu Pahing, melaksanakan "gladen gede" dimana warga dari luar Kota Yogyakarta pun diperkenankan berlatih ataupun bertanding persahabatan.

Penggiat Jemparingan Hantu Maut ini, Mas Danang saat ditemui Penggerak Swadaya Masyarakat Kemantren Mergangsan menyampaikan bahwa anak-anak berlatih secara gratis. Jika ingin punya Gandewa dan anak panahnya, bisa memesan atau membeli di pengrajin Gandewa Pujokusuman. Sayangnya untuk anak panahnya, di Kota Jogja sendiri belum ada yang memproduksi, sehingga untuk mendapatkannya masih harus bergantung pembelian di kota lain.

Di musrenbang Kemantren Mergangsan tahun 2020 lalu sempat diusulkan pelatihan pembuatan anak panah bagi pengrajin Gandewa, namun karena adanya pandemi, maka usulan tersebut terpaksa harus ditangguhkan.

Antusiasme warga Pujokusuman yang begitu besar terhadap olahraga jemparingan ini, diharapkan mampu menjadi inspirasi bagi kampung rintisan budaya yang lainnya baik di wilayah Brontokusuman maupun Wirogunan. Mengingat jemparingan sendiri merupakan olahraga khas dari Kraton Ngayogyakarta, penggiat Jemparingan Hantu Maut ini, Mas Danang menyampaikan bahwa beliau siap dan sanggup mendampingi berdirinya komunitas-komunitas jemparingan di luar Pujokusuman hingga mandiri. Jemparingan Hantu Maut ini sering juga melakukan pertandingan persahabatan dengan komunitas-komunitas jemparingan yang lain. Dan menjadi sebuah kebanggaan tersendiri, bahwa komunitas ini pun mampu mencetak prestasi-prestasi yang luar biasa.

Semoga dengan semakin maraknya Jemparingan di lingkungan masyarakat Kota Yogyakarta, anak-anak semakin mempunyai ruang-ruang kreatif yang mampu menumbuh kembangkan karakter positif bagi diri mereka.

Ada yang ingin bergabung latihan jemparingan? Yuk temui Hantu Maut di SD di Negeri Pujokusuman sesuai jadwal latihan yang tertera diatas ya..